Kamis, 18 Juli 2019

Bertanya


Pundak yang mana?
Air mata yang mana ?
Terlalu banyak rumpun jiwa yang menopang dalam satu raga.
Sedetik saja bisa dirasakan ribuan rintih, ribuan tawa yang tak mampu diprediksi siapa pemiliknya.
Mungkin benar yang menyebut bahwa hidup tak mampu diprediksi.
Hari ini aku berjalan ke awan,
Esok aku berjalan ke sungai,
Hari ini aku menghadap selatan,
Esok aku mengarah ke kiblat.
Sebagian berkata, semuanya hanya bisa diketahui dalam keheningan.
Pertanyaannya, keheningan yang mana ?
Keheningan yang seperti apa ?
Langit bukanlah kalbu
Tapi kalbu bisa menjadi langit


Qalam / Bondowoso, 21 Juni 2019

Minggu, 28 April 2019

Baru Kemarin

Rasanya seperti baru kemarin
Aku melompat kegirangan manakala suara bep berbunyi
Rasanya seperti baru kemarin
Aku nyengir sendiri menikmati buaian diksimu
Rasanya seperti baru kemarin
Aku menikmati degup jantung saat  mengingat namamu 
Rasanya seperti baru kemarin
Kau memanggil namaku, dan bertanya "Lagi apa ?"

Ya, semuanya seperti baru saja terjadi
Ketika diingat satu persatu, aku seperti tengah menonton film AADC
Baru tersadar,
Aku harus mundur satu langkah untuk melompat lebih jauh
Sekarang sudah musim kemarau
Aku tau
Kau butuh salju
Aku butuh semi
Rasa ini adalah naif yang terlalu
Tak bisa diteruskan
Cukup aku dan Tuhan yang boleh berbisik tentang (ini)
Kau tak boleh dengar
Karena ini adalah baru kemarin yang aku 

Qalam, Bondowos, 28 April 2019 (RDN) 



Kamis, 04 April 2019

Jera


Kesekian kali kami berpapasan dalam ruang waktu
Kali ini bertatap muka, namun sepersekian detik
Kita tak bisa, atau mungkin tak boleh lagi berseru dalam kalimat-kalimat syahdu
Hanya bisa tertegun dalam remahan kertas di tangan
Ribuan kali diri meminta agar cebol tak perlulah melihat bulan
Agar tak lagi bermimpi dan mengungkit masa yang terlalu berat
Tapi, takdir lagi-lagi tak bisa diajak kompromi
Mereka berjalan semaunya sendiri
Dalihnya, ini yang terbaik
Padahal makna keadilan terlalu rancu untuk dijabarkan olehku
Hitungannya sekali lagi di masa yang akan datang
Bagaimana lagi, diri ini hanya boneka
Berjalan, berlari, dan bahkan menutup mata itu diterima begitu saja
Bahkan ketika tulang belulang remuk, sementara nafsu dan logika bersepakat,
Ya jalan
Andai takdir bisa kita ajak kompromi
Maka aku ingin berkata "Jera"

Qalam / Bondowoso, 4 April 2019

Selasa, 02 April 2019

Mati Kau !


Mati Kau !
Kali ini, ribuan prajurit sudah berpihak kepadaku
Siap dengan ribuan kuda gagah berani, lengkap pula dengan senjata
Begini akibatnya jika kau berani menikamku dengan janji-janji palsumu
Kau bukan raja, kau hanya seonggoh mahkluk yang penuh luka
Lagipula jika kau raja sekalipun kami tak perduli
Aku hanya akan membunuhmu dengan ribuan prajurit saja
Hingga dagingmu terkoyak-koyak oleh amarah yang buta
Ataupun matamu hancur lebur oleh gempuran senjata
Ku pastikan, telingamu bising sebisingnya dengan desingan peluru, dan pedang
Makanya, jangan kau berani beruntai kepalsuan
Makanya, jangan kau hidup dibawah mata hati tirani
Goblok sih !
Berdalih demi keadilan,
Berkedok demi kebaikan
Kebaikan siapa ?
Keadilan siapa ?
Aku sudah terlalu sering bertemu Pandawa
Tapi tak satu pun yang katanya mirip denganmu
Arjuna ? Bukan lag, terlalu mashyur
Sudah.. prajuritku sudah siap menyerbu
Pasrah saja, lari kemana pun Kau hanya akan bertemu denganku
Karena aku adalah prajuritku, Aku adalah senjataku, dan aku adalah kematianmu
Beginilah pembusukan yang berisi kebencian
Bau amis derita, akan lebih tercium, dari kebencian itu sendiri
Diamlah..
Serang sekarang !!!

Qalam / Bondowoso, 3 April 2019

Jumat, 29 Maret 2019

Investasi Rindu



Cinta ini dari kita
Cinta ini oleh kita
Cinta ini untuk kita
Aku dengan bangga mengatakan bahwa cinta kita berdemokrasi
Di dalamnya kita investasikan miliyaran rindu menggebu
Tak lupa pula, kita bubuhi dengan tanda tangan berupa cumbuan rayu
Kataku tanda tangan itu adalah awal dari kesepakatan
Komitmen membangun ruang-ruang yang nantinya hanya akan diisi
“Aku, Kamu, kita, dan kenangan indah”
Untuk mencapai ruang-ruang itu, kita harus melakukan pertumbuhan rindu
Rindu yang berdiri tegak diantara cinta dan nafsu  
Ini investasi yang terlalu mahal
Terlalu sulit dijamah, bahkan akan lebih sering gagalnya
Tapi aku memahami bahwa kita dimabuk asmara
Kata orang “Tai Kucing aja bisa berasa coklat” apalagi hanya investasi rindu

                                                Qalam/ Bondowoso, 30 Maret 2019

Rajin-rajinlah


Rajin-rajinlah mencintai
Karena, jika kemalasan mencintai datang
Bisa menakutkan
Seperti pasang tanpa surut
Rajin-rajinlah merindu
Karena jika kerinduan  itu sudah kosong
Bisa hanya seperti tong
Berbunyi tapi ompong
Jika bingung bagaimana agar rajin mencintai
Dan merindu
Tanyalah pada ayat yang berdengung
Mungkin denting jam yang akan bantu menjawab
                                                                        Qalam / Bondowoso, 18 Maret 2019

Menghamba


Nyanyian sunyi kekaguman sungguh merdu
Mengalunkan nada-nada mahsyur yang memanjakan telinga
Indahnya bukan kepalang
Memabukkan diri
Hingga tak sadar ada benih-benih menghamba dalam diri
Menghamba pada senyuman
Menghamba pada lirikan
Menghamba pada gambaran
Parahnya, menghamba pula pada khayalan
Seperti syirik yang tak syirik
Ini bagi(ku) bagian soheh dari pertunjukan ke(normal)an
Beruntung sekali menjadi manusia
Karena birahi diri bisa disirami dengan rohani
Biarkan ini menjelma menjadi ayat-ayat yang didengungkan
Menjadikan angan-angan sebagai kearifan diri kala menghadap
Sungguh benar, ini bukanlah aku sebut sebagai penghianatan
Tapi tedak teduk tedik dalam gemericik rasa remahku
                                                            Qalam / Bondowoso, 24 Januari 2019 (RDN)

Rindu yang Manusiawi

Ada ruang rindu di hati

Bergejolak
Meronta
Hingga luka menganga seolah tak pernah ada
Dalam sepi Ku bertanya
Adakah jumpa kembali ?
Namun tak ada dengar suara jawaban
Rindu ini terlalu menggebu
Membatin “Hanya sesaat”
Dan ternayata, Aku terbajak
Rindu ini menggunung
Ah !
Manusiawi
Dan Aku manusia
                                                Qalam / Bondowoso, 18 Januari 2019

Itu yang Entah


Aku tumbang dalam sekali tebas
Tapi aku bangkit tak lama kemudian
Aku terjatuh dalam sekali pukul
Tapi sekali lagi, aku terbangun tak lama kemudian
Aku roboh dalam sekali terjang
Tapi lagi-lagi, aku berdiri tak lama kemudian
Aduuhhh !
Kenapa rindu harus kau jelmakan dalam buaian
Kalimat lemah lesu
Dan bahkan menakutkan karena berisi kebodohan
Taukah kau, Rindumu terlalu menggebu
Hingga langit sendu berubah menjadi kemerahan
Kau boleh merindu. Tapi jangan terlalu
Andai, aku pun adalah kerinduan
Maka kau adalah penjelmaan dari qolbu yang terlalu berpenyakit
Berhentilah sejenak
Jika perlu bersikaplah, bak seorang tak berperasa
Ah !
Kalimatku terlalu Panjang
Duduk saja di halaman ruamhku, tatap langit dengan berjuta bintang
Tak perlu dipaksa
Hungaria, mari kita menuju Fujiama
Karena aku tau, ini bukan rindu
Ini adalah itu, itu yang entah
                                                                        Qalam / Bondowoso, 19 Oktober 2018

Petik (!)


Jingga sudah tampak diufuk
Tiba saatnya yang dijinjing untuk dipikul
Merangkak sekali pun, atau berjalan dengan satu kaki
Tetap ini disebut keharusan
Sudah selesai
Menikmati segelas air di padang tandus
Kisah-kisah singkat juga sudah ditulis
Dikemas dengan rapi
Jemari juga sudah kaku
Aku ada karena kisah
Ia pun ada karena kisah
Tapi, ini sudah di halaman terakhir
Jadi mari kejar fajar dan temui jingga lagi
Begitu seterusnya
Berhenti boleh
Tapi jangan menetap
Agar sebutan Pengembara itu masih bisa
Kau sebut sebagai Kamu
Tali sepatu sudah kencang
Aku pun siap
Petik (!)
                                                                        Qalam / Bondowoso, 14 Oktober 2018